SANGGAR MEDITASI DI GOMBONG
Di Gombong ternyata terdapat juga sebuah Sanggar
Meditasi ,dulu saya kesana bersama teman² saya. Orang² bilang bahwa itu adalah sebuah Candi, yang
dinamakan Candi Bengkoang. Ehh ternyata dan ternyata,bangunan itu bukanlah
sebuah Candi, melainkan sebuah Sanggar. Yaitu Sanggar Meditasi . Jikalau saya
dan teman²
saya tidak bertemu pada pemilik tempat itu yang bernama Bapak Adji Tjaroko,
kita semua tidak akan mengetahui kalo itu adalah sebuah Sanggar . Memang kalo
dilihat, bangungan itu membentuk seperti Candi,ada ukiran ukiran di batu. Sanggar
tidak jauh dari kota Gombong. Coba aja datang kesana. Tempatnya emang
kecil,tapi lumayan kok buat foto² . Terutama pecinta kamera yang seneng njepret² . Itu tempat yang
lumayan bagus juga J
.
SEJARAH
SANGGAR MEDITASI
Pertama,
keberadaan Sanggar Meditasi tersebut tidak bisa dilepaskan dari tokoh historis
yang merupakan kakek dari Bapak Adji Tjaroko yang bernama Ki Bagus Hadi Kusumo.
Sejak tahun 1917 beliau telah menyebarluaskan ajaran dan kawruh Jawa yang
dinamakan Kawruh Naluri (KWN. Istilah ini sempat
menerima labeling negatif dan dipersoalkan secara hukum oleh pihak-pihak
tertentu di era Orde Baru pada tahun 1970-an sehingga menimbulkan traumatik
komunitas pengguna istilah ini). Komunitas yang dipimpin Ki Bagus Hadi Kusumo
bukan bagian aliran agama baik Kristen, Islam, Hindu serta Budha. Ajaran ini
merupakan bagian dari konsep Kejawen yang lahir dan dipercaya serta
disebarluaskan melalui konsep hubungan “Guru Murid” sebagaimana lazimnya
kawruh-kawruh Jawa yang berkembang di zamannya. Ki Bagus Hadi Kusumo tidak
hanya menyebarluaskan kepercayaannya sehingga memiliki ribuan pengikut, namun
beliau juga terlibat dalam menentang arogansi pemerintahan Belanda di wilayah
Gombong pada zamannya. Menurut pemaparan Bpk Adji Tjaroko, pada tahun 1920-an
Belanda menuntut pajak per kepala penduduk pribumi. Namun Ki Bagus Hadi Kusumo
menentang dan melawan dengan menolak pembayaran pajak bahkan dengan berani
mengatakan, “Ini bumi kami. Mestinya kamilah yang menarik pajak pada kalian
yang pendatang!”. Dalam usahanya menentang kebijakkan pemerintahan kolonial,
beliau tidak pernah membawa pengikut atau mengerahkan kekuatan fisik namun
melakukannya secara individual. Dikarenakan Ki Bagus Hadi Kusumo kerap melakukan
berbagai tindakan yang menimbulkan kemarahan Belanda, maka beliau sering
berurusan dengan polisi Belanda dan di penjara berulang kali.
Kedua, Setelah Ki Bagus Hadi Kusuwo wafat, maka Kawruh
Naluri diteruskan oleh putranya yang bernama Nurhadi (ayah dari Bapak Adji
Tjaroko). Melalui usaha Bapak Nurhadi dan pengikutnya, maka terbentuklah
bangunan Sanggar Meditasi pada tahun 1959. Bentuk bangunan menyerupai candi
dikarenakan ada sejumlah relief di sekeliling bangunan luar tersebut. Dibangun
dengan batu gunung dan dibuat bertingkat menyerupai sejumlah candi di Jawa.
Ruang dalam dibiarkan kosong sebagai ruang meditasi atau samadhi para pengikut ajaran ini. Bapak
Nurhadi adalah konseptor Sanggar Meditasi sementara pelaksanaan pembangunan di
kerjakan oleh Seniman Indonesia Muda (logo dan nama
pelaksana disematkan di bagian bawah tangga masuk Sanggar Meditasi). Dalam
perkembangannya, komunitas penganut kepercayaan kepada Tuhan namun di luar
bentuk formal agama ini mendaftarkan keiatannya dan di badan hukumkan dengan
nama Yayasan Setyaki (Setia Marang Kaki: Setia Pada
Leluhur)). Pengaruh Kawruh Naluri yang diturunkan Ki Bagus Hadi Kusumo dan yang
diteruskan oleh Bapak Nurhadi mengalami pasang surut. Khususnya pada sekitar thun
1965 di saat kondisi negara dan politik sedang mengalami turbulensi dan chaos dikarenakan
peristiwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan reaksi tentara di
bawah kepemimpinan Suharto yang kelak menjadi Presiden Republik Indonesia
menggantikan Sukarno. “Seluruh anggota paguyuban dipaksa masuk agama
tertentu baik dengan cara halus dan keras. Kebanyakan menyerah dan berpindah
agama sehingga anggota menjadi menurun”, demikian kesaksian Bapak Adji
Tjaroko. Tahun 1980 bpk Nurhadi meninggal. Sepeninggal beliau, pengikutnya
terbagi menjadi dua. Ada yang tetap setia di organisasi melalui Yayasan Setyaki
namun sebagian lainnya memilih untuk menganut kepercayaan di luar organisasi
sehingga mereka boleh dikatakan sebagai anggota non formal penganut kepercayaan.
Ketiga, pada
tahun 1986 Bapak Adji Tjaroko mengundurkan diri dari PNS dan menekuni keyakinan
yang dianut kakek dan ayahnya serta mulai belajar melalui para sepuh di Yayasan
Setyaki. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa sepeningal Bapak Nurhadi, komunitas
penganut Kawruh Naluri ini terbagi menjadi dua yaitu anggota formal dan anggota
non formal. Anggota non formal banyak berinteraksi dan bertukar pikiran dengan
Bapak Adji dan dikoordinir oleh Bapak Adji dalam memperjuangkan berbagai
aktifitas dan kepentingannya. Berdasarkan UU no 23 Tahun 2006 dan PP no 37
Tahun 2007 (setiap paguyuban bisa menunjuk petugas perkawinan dan menerima SK
dari Dep Kebudayaan/Kementerian Kebudayaan), maka pada tahun 2008
dibentuklah Paguyuban Budaya Bangsa (PBB) dengan Bapak
Adji Tjaroko sebagai Ketua Umum. Menurut kesaksian Bapak Adji, jumlah
anggota saat ini sekitar 3000 dan semuanya berada di luar wilayah Gombong.
Inilah beberapa
foto saya dan teman² Sanggar Meditasi .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar